Bondowoso — Fenomena
perundungan (bullying) hingga kini masih menjadi salah satu tantangan besar di
lingkungan pendidikan. Hal ini disampaikan langsung oleh Sofyan Sauri,
S.Pd., M.Pd., Ketua LP Ma’arif NU Bondowoso, yang menegaskan bahwa praktik
perundungan bisa saja terjadi di berbagai satuan pendidikan, baik di
jenjang SD/MI, SMP/MTs, hingga SMA/SMK di bawah naungan LP Ma’arif NU
Bondowoso.
Menurutnya, perundungan tidak
selalu hadir dalam bentuk yang kasat mata. Banyak kasus terjadi secara
perlahan, terselubung, dan berulang-ulang, hingga akhirnya merusak kesehatan
mental serta motivasi belajar peserta didik.
“Bullying, baik dalam bentuk
fisik, verbal, relasional, maupun cyber-bullying, sering kali tidak disadari
oleh guru, orang tua, bahkan korban sendiri. Ini tanda bahwa masih ada warga
sekolah yang belum memahami pentingnya sikap saling menghargai dan menciptakan
lingkungan belajar yang sehat,” ungkap Sofyan Sauri.
Perundungan
dalam Ragam Bentuk: Ancaman yang Tidak Boleh Dianggap Sepele
Perundungan di
sekolah dapat muncul dalam berbagai bentuk:
- Fisik: tindakan agresi seperti memukul,
mendorong, atau merusak barang milik teman.
- Verbal: ejekan, hinaan, atau julukan yang
mengarah pada merendahkan martabat korban.
- Relasional/Sosial: pengucilan, tidak
mengajak bermain, atau sengaja menyebarkan kebencian.
- Cyber-bullying: penyebaran isu negatif,
konten menghina, atau penghinaan melalui media sosial.
Kemajuan
teknologi yang tidak dibarengi literasi digital yang baik menjadi pemicu
meningkatnya perundungan daring di kalangan pelajar. Di beberapa kasus,
dampaknya lebih berat karena tersebar cepat dan sulit dikendalikan.
Menyadari urgensi masalah ini, LP Ma’arif NU Bondowoso menegaskan komitmennya untuk memperkuat budaya anti-perundungan melalui:
- Penguatan pendidikan karakter berbasis
nilai-nilai Aswaja An-Nahdliyah yang menekankan akhlak mulia, empati, dan
penghormatan terhadap sesama.
- Pelatihan guru dan tenaga kependidikan untuk
mengenali gejala perundungan sedini mungkin.
- Kampanye literasi digital agar siswa lebih
bijak bermedia sosial.
- Peningkatan peran konselor dan guru BK
sebagai pendamping siswa yang mengalami tekanan psikologis.
Menurut Sofyan
Sauri, menciptakan sekolah aman dan ramah anak bukan hanya tugas kepala sekolah
atau guru, tetapi menjadi tanggung jawab seluruh ekosistem pendidikan,
termasuk orang tua dan masyarakat sekitar.
Menjadikan
Sekolah Sebagai Ruang Tumbuh, Bukan Ruang Takut
Sekolah
seharusnya menjadi ruang yang menyenangkan, tempat anak-anak dapat tumbuh,
belajar, dan mengembangkan potensi tanpa rasa takut. Ketika perundungan
dibiarkan, prestasi akademik menurun, kepercayaan diri terganggu, bahkan dapat
memicu trauma jangka panjang.
LP Ma’arif NU
Bondowoso berharap seluruh warga sekolah dapat bersama-sama berkomitmen untuk:
- Menghentikan segala bentuk kekerasan, baik yang
tampak maupun yang tersembunyi.
- Membangun budaya saling menghargai.
- Membimbing siswa untuk menjadi generasi yang
empatik, inklusif, dan berakhlak mulia.
“Kita ingin
memastikan bahwa lembaga pendidikan Ma’arif benar-benar menjadi tempat yang
aman, nyaman, dan membahagiakan bagi semua peserta didik. Tidak boleh ada ruang
bagi perundungan dalam bentuk apa pun di sekolah,” tegas Sofyan Sauri.
Saatnya Bergerak Bersama. Perundungan bukan sekadar masalah pribadi korban. Ia adalah masalah lingkungan dan budaya sekolah. LP Ma’arif NU Bondowoso mengajak semua pihak untuk mengambil peran aktif dalam menciptakan sekolah ramah anak dan bebas perundungan. Hanya dengan kolaborasi, ketulusan, dan kepedulian, lingkungan pendidikan yang sehat dapat terwujud.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar